Rabu, 04 Februari 2009

Fiqih Jenazah

Fiqih Jenazah dan sholat malam
Oleh : Aep Jamaluddin
RINGKASAN SHOLAT JENAZAH
Allah telah mengingatkan manusia tentang kematian dan taubat dari segala dosa di dalam al-qur'an, surah al-imran ayat 185
"tiap-tiap yang bernyawa itu akan merasakan mati, sesungguhnya pahala kamu akan disempurnakan pada hari kiamat."
Begitu pula Rasulullah dalam sabdanya mengingatkan kita tantang kematian. Yang artinya:
Dari Abi Hurairah berkata, Nabi saw. Berkata, "Perbanyaklah kalian mengingat mati." (Riwayat Tirmidzi dan disahkan oleh Ibnu Hibban)
Sahlat Al-Janazah adalah salat yang harus dilakukan mukallaf untuk saudaranya sesama muslim yang meninggal dunia. Secara hokum, jenazah mempunyai empat hak dari mereka yang masih hidup, yakni dimandikan, dikafani, disalatkan dan dikuburkan. Shalat jenazah merupakan ucapan doa menjelang jenazah dikuburkan .
Ada ikhltilaf ulama tentang berapa jumlah takbir dalam shalat jenazah. Menurut Jumhur Ulama ahlussunnah wal-jamaah, shalat jenazah dilakukan dengan empat kali takbir, tanpa rukuk, sujud an duduk, sedangkan ulama Syiah Imamiah berpendapat bahwa jumlah takbir dalam shalat jenazah adalah lima kali dan antar setiap kali takbir dibaca do’a.
Dasar pendapat jumhur ulama ahlussunnah wal-jamaah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim serta ijtiamak para sahabat dalam pelaksanaan. Disamping itu dalam sebuah hadits dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh al-Hakim dikatakan bahwa “shalat jenazah yang terakhir kali dilaksankan oleh Rasulullah SAW adalah empat kali takbir."
Sedangkan dasar pendapat ulama Syiah Imamiah adalah amalan yang dilakukan oleh Huzaifah (sahabat Nabi SAW). Ketika melaksankan salat jenzah ia melakuakn takbir lima kali. Kemuidan ia berkata:”Saya tidak salah dan tidak ragu, bahkan saya lakukan takbir sesaui dengan takbir yang dilakuak oleh Rasullah SAW dalam shalat jenazah, yaitu liam kali takbir. "(HR. Ahmad bin Hambal)
Menurut para ahli hadits, apa yang diriwayatkan dari Huzaifah ini tidak benar dan menjadi perbincangan yang luas dikalangan hadits tenang kesahihanya.
Hukum;
Merupakan kesepakatan (Jumhur) ulama, bahwa salat jenazah hukumnya fardhu kifayah, yakni kewajiban bagi segenap umat Islam, namun cukup dipenuhi oleh sebagian dari mereka, sehingga kalaupun hanya satu atau dua orang saja yang melakukanya, maka kewajiban itu telah dapat terpenuhi dan gugur kewajiban untuk mukkalaf yang lainnya, artinya mereka terlepas dari ancaman Dosa, namun tidak memperoleh pahala, karena tidak melakukan apa-apa. Kesimpulan hukumnya sebagaiman Rasulullah SAW bersabda “Rasulullah saw mendatangi seorang laki-laki yang baru meniggal, lalu menyuruh umat Islam yang ada;”Salatkanlahsaudaramu itu."(HR.al-Bukhari dari Abu Hurairah)
Hal-hal yang dilakukan ketika seorang manusia meninggal.
1. Dipejamkan (ditutup) matanya.
2. Ditutup seluruh badannya dengan kain,supaya tertutup auratnya.
3. Ahli mayat yang mampu hendaknya segera membayar hutang si mmayat jika dia berhutang.
Cara pelaksanaan.
Sebelum shalat dimulai ada beberapa persyaratan baik bagi jenazah maupun yang menyolatkan yaitu:
1. Jenazah itu Bergama Islam
2. Jasad mayat itu ada ditempat
Bila kematiaanya karena kecelakaan yang menghacurkan bagian-bagian tubuhnya, mak hendaklah sebgain besar dari anggota tubuhnya itu ada saat di shalatkan, dan tidak sah shalat hanya pada sebagian kecil anggot tubuhnya saja.
3. Hendaklah jenazah itu ad dihadapan orang-orang yang menyalatkan, dan diletakkan diatas lantai temapt shalat, demikin dinyatakan oleh ulama Mazhab Hnafi dan Hmabali, sedangkan menurut ulam Mazhab syafi’i dan Maliki, boleh juga menyalatkan jenazah yang berada dipunggung binatang, dipangkuan atu diatas pundak
4. Jenzah itu diketahui seacara pasti bahwa dia pernah hidup. Dengan demikina, anak yang meninggal saat kelahiran tidak wajib disalatkan kecuali kalau dikethui bahwa dia pernah hidup setelah kelahiranannya, yang ditandai dengan beberapa gejala, antara lain pernah menyusu tau adanya tangisan serta gerakan
5. Jenazah itu suci, yakni sebelum dishalatkan telah diamandikan terlebih dahulu, atu dengan tayamun, jika ada kedulitan pengguanaan air.
6. Jenazah meninggal bukan sebagai syahid.
Adapun persyaratan orang yang akan melakukan Shalat jenazah sama dengan persyaratan-pelaksanaan salat-salat lainya yaitu:
1. Beragama Islam
2. Berakal
3. Mumayyiz (dapat membedakan yang baikdan buruk)
4. Menutup Aurat
5. Suci dari hadas besar dan kecil, serta suci badan, pakaian dan tempat shalat dari najis
6. Mengahdap kibalat
Tidak disyaritakan bagi mereka untuk mengetahui masuknya waktu shalat, karena shalat Jenazah dapat dilakukan kapan saja, asal bukan pada waktu-waktu terlarang (setelah subuh sampai terbit matahari, saat matahari berada di titik kulminasi dan setelah asar sampai terbenam matahari.)
Disamping syarat-syarat sebagaimana diuraikan diatas, ada beberapa rukun yang harus ada sejak shalat dimulai dan senatiasa ada sampai salat itu usai. Rukun-rukun tersebut menurut ulam Mazhab Syafii adalah sebagai berikut:
1. Niat, yakni berniat dalam hati untuk melakukan Shalt jenazah dalam rangka menjalaknan perintah dan kewajiban dari Allah SWT.
2. Berdiri bagi yang mampu, Shalt jenazah itu harus dilakukan sambil duduk, kecuali bagi jamaah yang tdak mampu melaksanakannya dengan sendiri.
3. Takbir empat kali, temasuk takbiratulihram
Adapun bacaan ketika setelah takbir, adalah
a. Membaca surat Al-Fatihah setlah takbir pertama
b. Memebaca shalwat kepada Nabi Muhammad SAW setlah takbir kedua, yakni Allahuma salli’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad (Ya Allah muliakanlah atas Muhammad dan atas keluarga Muhammad (HR. Bukhari dan Muslim)
c. Membaca do’a untuk jenazah setelah takbir ketiga, yakni “Allahummagfir lahu warhamhu wa’afihi wa’fu ‘anhu wa akrim nuzulahu wawassi’ mad-khalahu wagsilhu bil ma’I wawasilji wal-baradi wanaggihi minal-khatay kama yunaggas-saubu al-abyadu minad-danasi wa abdilhu daraan khairan min darihi wa ahalan khairan min ahlihi, wa adkhilhul-jannat wa gihi fitnatal-gabri wa’azaban-nar." ( Ya Allah, ampunilah dia dan maafkanlah dia serta dosa-dosanya, muliakanlah tempatnya, lapangkanlah temapt masuknya, dan cucilah ia dari segala dosanya sebagaimana dicuci pakaian putih dari kaki (kotoran) dan gantilah tempat tinggalnya dengan tempat yang lebih baik, dan gantilah keluarganya dengan kelaurga yang lebih baik, masukkanlah ia ke dalam syurga dan hindarkan ia dari fitnah kubur dan azab api neraka." (HR. Tirmidzi, Muslim, dan An-Nasi dari Auf bin Malik)
d. Takbir keempat (terakhir), setelahnya dibacakan, ; Allahumma la tahrimna ajrahu wa la tudillunaba’dahu waghfir lan walahu wali ikhwanina allazina amanu innaka ra’ufur-rahi (Ya Allah jangan engkau halangi kami dari pahalanaya, jangan engkau sesatkan kami sepeniggal nya, ampunilah kami dan dia serta saudara-saudara kami dalam keadaan beriman. Jangan engkau ciptkan dalam hati kami kecongkolan bagi orang-orang yang beriman, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dan Penyanyang. (HR. Muslim)

Tidak diwajibkan berdo’a setelah takbir ketiga dan takbir keempat. Kendati demikian disunnahkan untuk berdo’a bagi orang-orang beriman.
e. Salam
Salam ini dilakukan setelah takbir terakhir (takbir keempat).
Ulama Mazhab Hambali merumuskan praktek –praktek salat jenazah sama dengan ulama mazhab Syafi’I, hanya mereka tidak melakukan niat sebagai rukun, karena menurutnya niat itu termasuk syarat shalat, sebgaimana dikemukakan ulama Mazhab Hanafi.
Sementara itu, Ulama Mazhab Maliki berpendapat, rukun Shalat Jenazah itu hanya lima yaitu:
a. Niat
b. Takbir empat kali
c. Berdo’a untuk jenazah diantara keempat takbir tersebut
d. Berdiri
e. Salam
Dengan demikian, salat jenazah sebagaimana dikemukakan ulama Mazhab Maliki ini, dimulai dengan bacaan Hamdallah serta selawat untuk Nabi SAW: Alhamdu lillahil-lazi amata wa wa ahya, wal-hamdu Lillahl-lazi yuhyil-mauta, wa huwa’ ala kulli ayai’in gadir. Allahumma salli ‘ala Muhammad wa’ala ali Muhammad, wabarik ala Muhammad wa’ala ali Muhammad kam sallaita wa barakta ala Ibarahim wa’ala ali Ibrahim innaka Hamidun Majid. ( Segala puji bagi Allah yang telah mematikan dan menghidupakan, and segalapuji bagi Allah yang menghidupakn, dan segala pji bagi allah yang telah menghidupkan yang telah mati, dan diatas segala sesuatu maha kuasa. Ya Allah, muliakanlah atas Muhamaad dan atas keluarga Muhammad, dan beri berkatlah kepad Muhammad dan keluarga Muhamad sebaimana engkau berikan kemulian dan berkat kepada Ibrahim dan keluraga Ibrahim sesungguhnya engkau maha terpuji dan maha mulia.)
Kemudian dilanjutkan dengan doa untuk jenazah dan diantara takbir satu dengan yang lainya diisi dengan do’a-do’a untuk jenzah pula, dan pilihla doa yang muda.. Setelah takbir yamg keempat disi dengan doa-doa untuk orang beriman, : Allahumma igfirli hayyinaa wa mayyitina wa syahidina wa ga’ibina, wa sagirina, wa kabirina, wa zakarina wa unsana. Allahumma man ahyaitahu minna fa ahya-u a’lal islam waman tawaffyaitahu minna fatawaffahu ‘ala iman. Allahumma la tuharrimna ajrahu wala tudilluna.
Sedangkan ulama madzhab Hanbali berpendapat bahwa rukun shalat jenazah itu hanya dua yaitu: berdiri dan takbir sebanyak 4 kali. Ia tidak memasukan niat sebagai rukun shalat jenazah, Karen niat adalah syarat salat yang harus ada sebelum shalat di mulai dan harus selalu ada sampai shalat usai. Sedangkan bcaan-bcaan dalam shalat menurut mereka hukumnya sunnah, yaitu mebca tahmid, shalawat kepada rasulullah, serta do’a untuk jenazah.
Menurut madzab hanafi shalat jenqzah dimulai dengan takbir pertama yang diikuti bacaan thamid: subhaanakallahumma wabihadika.Bukhari muslim. Kemudian takbir kedu ayang didikutu denga bacaan shalawat, takbir ketiga didikuti dengan bcaa do’a untuk dirinya, jenazah, dan umat islam secara keseluruhan. Kemudian diakahiri denga takbir ke empat lalu salam
Shunah dalam shalat jenazah
1. Mengangkat tangan ketika mengucapkan takbir (yang empat kali)
Dari Ibnu 'Umar : " Sesungguhnya Nabi saw. Mengangkat kedua tangan beliau pada semua takbir shalat jenazah." (Riwayat Baihaqi)
2. Israr (merendahkan suara bacaan).
3. Membaca a'udzubillah.

RINGKASAN SHOLAT MALAM
Qiyamul lail atau yang biasa disebut juga Sholat Tahajjud atau Sholat Malam adalah salah satu ibadah yang agung dan mulia , yang disyari’atkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai ibadah nafilah atau ibadah sunnah. Akan tetapi bila seorang hamba mengamalkannya dengan penuh kesungguhan, maka ia memiliki banyak keutamaan. Berat memang, karena memang tidak setiap muslim sanggup melakukannya.
Dr. Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqor menerangkan: “At-Tahajjud adalah sholat di waktu malam sesudah bangun tidur. Adapun makna ayat “sebagai ibadah nafilah” yakni sebagai tambahan bagi ibadah-ibadah yang fardhu. Disebutkan bahwa sholat lail itu merupakan ibadah yang wajib bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan sebagai ibadah tathowwu’ (sunnah) bagi umat beliau.” ( lihat Zubdatut Tafsir, hal. 375 dan Tafsir Ibnu Katsir: 3/54-55)
Keutamaan Sholat Qiyamul Lail
Banyak nash dalam Alquran dan Assunnah yang menerangkan keutamaan ibadah ini. Di antaranya adalah sebagai berikut :
Pertama: Barangsiapa menunaikannya, berarti ia telah mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Dan pada sebagian malam hari, sholat tahajjudlah kamu sebagai ibadah nafilah bagimu, mudah-mudahan Rabb-mu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (Al-Isro’:79)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Sholat yang paling utama sesudah sholat fardhu adalah qiyamul lail (sholat di tengah malam).” (Muttafaqun ‘alaih)
Kedua : Qiyamul lail itu adalah kebiasaan orang-orang shalih dan calon penghuni surga. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam taman-taman surga dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan oleh Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu (di dunia) adalah orang-orang yang berbuat kebaikan, (yakni) mereka sedikit sekali tidur di waktu malam, dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” (Adz-Dzariyat: 15-18).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baik lelaki adalah Abdullah (yakni Abdullah bin Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhuma, -ed) seandainya ia sholat di waktu malam.” (HR Muslim No. 2478 dan 2479).
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasihati Abdullah ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma: “Wahai Abdullah, janganlah engkau menjadi seperti fulan, ia kerjakan sholat malam, lalu ia meninggalkannya.” (HR Bukhari 3/31 dan Muslim 2/185).
Ketiga : Siapa yang menunaikan qiyamul lail itu, dia akan terpelihara dari gangguan setan, dan ia akan bangun di pagi hari dalam keadan segar dan bersih jiwanya. Sebaliknya, siapa yang meninggalkan qiyamul lail, ia akan bangun di pagi hari dalam keadan jiwanya dililit kekalutan (kejelekan) dan malas untuk beramal sholeh. Suatu hari pernah diceritakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang orang yang tidur semalam suntuk tanpa mengingat untuk sholat, maka beliau menyatakan: “Orang tersebut telah dikencingi setan di kedua telinganya.” (Muttafaqun ‘alaih).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menceritakan: “Setan mengikat pada tengkuk setiap orang diantara kalian dengan tiga ikatan (simpul) ketika kalian akan tidur. Setiap simpulnya ditiupkanlah bisikannya (kepada orang yang tidur itu): 'Bagimu malam yang panjang, tidurlah dengan nyenyak.' Maka apabila (ternyata) ia bangun dan menyebut nama Allah Ta’ala (berdoa), maka terurailah (terlepas) satu simpul. Kemudian apabila ia berwudhu, terurailah satu simpul lagi. Dan kemudian apabila ia sholat, terurailah simpul yang terakhir. Maka ia berpagi hari dalam keadaan segar dan bersih jiwanya. Jika tidak (yakni tidak bangun sholat dan ibadah di malam hari), maka ia berpagi hari dalam keadaan kotor jiwanya dan malas (beramal shalih).” (Muttafaqun ‘alaih)
Keempat : Di malam hari itu ada satu waktu dimana Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengabulkan doa orang yang berdoa, Allah akan memberi sesuatu bagi orang yang meminta kepada-Nya, dan Allah akan mengampuni dosa-dosa hamba-Nya bila ia memohon ampunan kepada-Nya. Hal itu sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah dalam sabda beliau: “Di waktu malam terdapat satu saat dimana Allah akan mengabulkan doa setiap malam.” (HR Muslim No. 757).
Hukum Sholat Qiyamul lail
Terdapat beberapa ayat Al-Qur’an yang menyangkut qiyamul lail atau shalat tahajjud, yakni sebagai berikut.
“Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari , kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit. atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Qur’an itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat." (al-Muzammil: 1-5)
" Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (al-Israa`: 79)
Dari Abu Hurairah, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Shalat yang afdhal setelah shalat fardhu adalah shalat malam (qiyamul lail).’” (HR. at-Tirmidzi)
Aisyah binti Abu Bakar ra. berkata, ”Tidak pernah Rasulullah saw. masuk ke kamarku setelah shalat isya, kecuali setelah mengerjakan shalat malam sebanyak empat atau enam raka’at.” (HR. Abu Daud)
Para ulama fiqih berbeda pendapat hukum melaksanakan shalat malam bagi Rasulullah saw. Pertama, Sebagian berpendapat hukumnya mandub (sunah). Kedua, Sebagian lagi berpendapat bahwa shalat malam hukumnya wajib bagi Rasulullah.
Kedua, kelompok ini sama-sama berargumentasi dengan ayat tujuh puluh sembilan dari surah al-Isra. Mereka berbeda pendapat dalam memahami kata nafilah. Kelompok pertama memahami nafilah dengan sunah, sementara kelompok kedua berpendapat nafilah berarti tambahan sebagaimana kata nafilah yang terdapat dalam surah al-Anbiyaa` ayat dua puluh satu.
Adapun bagi umat Islam, melaksanakan shalat malam hukumnya sunah (mandub). Said Sabiq, ahli fiqih dari Mesir, mengatakan, ”Sekali pun surah al-Isra ayat tujuh puluh sembilan secara lahiriyyah ditujukan khusus kepada Rasulullah saw., tetapi secara umum ia ditujukan untuk seluruh umat Muhammad saw.”
Waktu Pelaksanaan Sholat Qiyamul Lail
Waktu pelaksanaan shalat malam dimulai setelah Shalat Isya sampai fajar. Oleh karena itu, shalat malam bisa dilakukan di awal, tengah, atau akhir malam, selama dilakukan setelah shalat isya. Akan tetapi, shalat malam lebih afdhal bila dilakukan di pertengahan malam. Hal ini berdasarkan hadits dari Amar bin Usbah, ”Saya bertanya kepada Rasulullah, ’Di bagian malam yang mana do’a lebih mungkin dikabulkan?’ Rasulullah saw. menjawab, ‘Pertengahan malam kedua….’” (HR. Abu Dawud)
Namun, lebih afdhal lagi bila dilakukan pada sepertiga akhir malam. Hal ini berdasarkan hadits dari Abi Hurairah yang meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Allah pada setiap malam turun dari langit ke dunia. Ketika sampai pada sepertiga akhir malam, Allah berfirman, ‘Barangsiapa berdo’a kepada-Ku, maka Aku akan mengabulkannya, barangsiapa meminta kepada-Ku, pasti Aku akan memberinya, dan barangsiapa yang meminta ampun kepada-Ku, niscaya akan Aku ampuni.” (HR. Jama’ah—mayoritas ahli hadits)
Jumlah Rakaan Qiyamul Lail
Ada beberapa hadits yang berbeda mengenai jumlah rakaat qiyamul lail yang dilakukan oleh Rasulullah saw.
1. Hadits dari Zaid bin Khalid al-Jahanni, dari Ibnu Abbas, yang menjelaskan bahwa Rasulullah saw. pernah mengerjakan shalat malam sebanyak tiga belas rakaat, dan tiga diantaranya adalah shalat witir. Hadist ini diriwayatkan Imam Muslim.
2. Hadits dari Aisyah ra., yang menyatakan diantara shalat malam yang dilakukan oleh Rasulullah saw. ada yang berjumlah sebelas rakaat, dan tiga diantaranya adalah witir. Hadist ini juga diriwayatkan Imam Muslim.
3. Amir bin Syarahil asy-Sya’bi berkata, ”Saya bertanya kepada Abdullah bin Abbas tentang shalat malam Rasulullah saw., ia menjawab, ‘Rasulullah saw. melakukan shalat malam sebanyak tiga belas rakaat, delapan rakaat shalat tahajud, dan tiga rakaat shalat witir, serta dua rakaat shalat sebelum fajar.” (HR. Muslim)
Ibnu Qudamah menyimpulkan hadits-hadist di atas dengan berkata,” Rasulullah saw. pernah melakukan shalat malam 11 rakaat dan pernah pula 13 rakaat. Karena itu, untuk umat Muhammad saw., tidak ada batas jumlah rakaat yang ditentukan dalam shalat malam, baik dalam batas minimal maupun maksimal.”
Samrah bin Jundab berkata, ”Rasulullah saw. menyuruh kami melakukan shalat malam, baik sedikit maupun banyak jumlahnya rakaatnya, dan mengakhirinya dengan shalat witir.” (HR. at-Thabrani)
Ibnu Abbas berkata, ”Rasulullah saw. menyuruh kami melakukan shalat malam dan membuat kami senang melakukannya, hingga Rasulullah saw. bersabda, ‘Seyogyanya anda mengerjakan shalat malam, walaupun hanya satu rakaat.’ ” (HR. at-Thabrani)
Tempat dan Tata Cara Pelaksanaannya
Shalat malam lebih utama dilaksanakan di rumah. Rasulullah bersabda, “Seyogyanya kamu melakukan shalat malam di rumahmu. Sesungguhnya, sebaik-baiknya shalat seseorang adalah di rumahnya, kecuali shalat wajib.” (HR. Muslim)
Bacaan shalat malam boleh dikeraskan, tetapi boleh juga perlahan. Akan tetapi, apabila bacaan yang keras itu mengganggu orang lain, maka lebih baik perlahan saja. Adapun Rasulullah melakukan shalat malam dengan rakaat yang panjang, dan bagi umatnya dianjurkan demikian pula adanya, dan apabila mampu, maka lebih utama kalau bacaannya mencapai satu juz Al Qur`an.
Tata Cara Sholat Malam
Ibnu Qoyyim al-Jauziah menyebutkan beberapa macam cara Rasulullah saw. melaksanakan shalat malam, antara lain sebagai berikut.
1. Dimulai dengan shalat sunah dua rakaat yang ringan, kemudian dilanjutkan dengan shalat sebelas rakaat. Hal ini dilakukan dengan cara dua rakaat sekali salam, dan ditutup dengan shalat witir. Cara ini sebagaimana disebutkan oleh Aisyah ra.. (HR. Muslim)
2. Sama dengan cara di atas, tetapi tidak didahului oleh shalat dua rakaat sebelumnya. (HR. Ibnu Abbas.
3. Shalat delapan rakaat, dan setiap dua rakaat salam. Kemudian, ia ditutup dengan shalat witir lima rakaat berturut-turut dengan satu kali salam.(HR. Muslim)
4. Shalat delapan rakaat, dan hanya duduk pada rakaat yang kedelapan untuk berdzikir, bertahmid, dan berdoa. Kemudian, kembali melanjutkan shalat (tanpa salam) untuk rakaat yang kesembilan, lalu duduk, membaca tahiyat, dan salam. Kemudian, mengerjakan dua rakaat dengan duduk. (HR. Muslim)
5. Ketika ditanya oleh Abu Salama, Aisyah ra. berkata, “Rasulullah saw. melaksanakan shalat tiga belas rakaat, delapan rakaat shalat malam, dan tiga rakaat shalat witir. Kemudian, beliau melakasanakan dua rakaat dalam keadaan duduk: apabila ia ingin melakukan ruku’, maka ia berdiri, lalu rukuk. Rasulullah lalu melakukan sahlat dua rakaat kembali, yakni antara adzan dan iqamah untuk shalat shubuh.” (HR.Muslim)
6. Melakukan shalat dengan cara dua rakaat satu kali salam, kemudian shalat witir tiga rakaat sekaligus, dengan satu kali salam. (HR. Ahmad, dari Aisyah)
7. Rasulullah saw. shalat sebanyak empat rakaat. Rasulullah membaca Subhana robbiyal adzim (Maha Suci Tuhan-ku Yang Agung) pada waktu rukuk, yang panjangnya sama ketika beliau berdiri. Beliau lalu bersujud dengan membaca Subhana robbiyal a’laa wa bihamdihi (Maha Suci Tuhan-ku Yang Tinggi dan segala puji bagi-Nya), yang lamanya sama ketika beliau berdiri. Apabila beliau melakukan shalat ini, maka beliau melakukan shalat witirnya diawal malam, ditengah malam, atau diakhir malam. Sepanjang malam itu, Rasulullah tetap bangun dengan membaca secara berulang-ulang ayat seratus delapan belas dari surah al-Maa-idah, ‘Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka itu adalah hamba-hamba Engkau’. (HR. Annasa’i)
Berdasarkan keterangan di atas, maka shalat malam boleh dilakukan dua rakaat atau empat rakaat dengan sekali salam. Adapun Imam as-Syafi’i menganjurkan pelaksanaan shalat sunnah, baik shalat sunnah yang dilakukan dilakukan malam hari atau pun siang hari dengan cara dua rakaat sekali salam.
Namun, Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaebani, keduanya pemuka ulama madzhab Hanafi, mengatakan bahwa shalat sunah lebih utama dilakukan dua rakaat dengan satu salam apabila dilakukan di malam hari, dan empat rakaat satu salam apabila dikerjakan di siang hari. Imam Abu Hanifah sendiri berpendapat bahwa shalat sunah lebih utama dilakukan empat rakaat dengan satu salam, baik dilakukan siang hari maupun malam hari.
Etika Sholat Malam
Sayid Sabiq dalam bukunya Fiqih Sunnah mengatakan, ”Bagi orang yang ingin melaksanakan shalat malam hendaklah melaksanakan hal-hal sebagai berikut:
1. Berniat untuk melakukan shalat malam sebelum tidur;
2. Ketika bangun tidur, hendaklah membersihkan muka dan bersiwak;
3. Memulai shalat malam dengan melakukan shalat ringan dua rakaat;
4. Membangunkan keluarganya;
5. Menunda shalat malam dan tetap tidur, apabila dalam keadaan mengantuk, hingga hilang rasa ngantuknya;
6. Tidak memaksakan diri dan melakukannya dengan kadar kemampuan yang ada;
7. Tetap melakukannya dengan terus-menerus, kecuali dalam keadaan darurat
Fungsi dan Keutamaan Sholat Malam
Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah saw. banyak membahas fungsi dan keutamaan shalat malam. Diantaranya sebagaimana disebutkan di bawah ini.
Pertama, Dengan shalat malam, seseorang dapat menggapai kedudukan tinggi dan mulia di sisi Allah SWT.
“Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajud lah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (al-Israa`: 79)
Kedua, Untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan menghapus dosa-dosa yang pernah dilakukan.
“Lakukanlah shalat malam. Sesungguhnya shalat malam merupakan kesungguhan orang soleh sebelum kamu, dan ia akan mendekatkan kamu kepada Allah sertamenghapuskan dosa-dosamu.” (HR. Salman al-Farisi)
Ketiga, Bagi mereka yang melakukannya secara berkesinambungan, maka akan dicatat sebagai orang-orang yang baik, serta berhak mendapat balasan kebaikannya dan rahmat dari Allah.
“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa itu berada dalam taman -taman (syurga) dan mata air-mata air, sambil menerima segala pemberian Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang orang yang berbuat baik. Mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam, dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” (adz-Dzariyat: 15-18)
Keempat, Mereka yang melakukan shalat malam akan mendapat pujian dari Allah SWT.
“Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka.” (al-Furqaan: 63-64)
Kelima, akan dipersaksikan sebagai orang yang beriman.
“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebahagian rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (as-Sajdah: 16 )
Keenam, Shalat qiyamul lail akan membuat furqan (perbedaan) antara mereka yang melakukannya dan yang tidak.
“(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (az-Zumar: 9)
Ketujuh, Mereka yang melakukannya akan masuk ke surga dengan damai dan sejahtera.
“Wahai sekalian manusia! Sebarkanlah salam, berikanlah makanan kepada yang berhak, hubungkanlah silaturahim, dan shalatlah ditengah malam ketika orang lain lelap tidur, maka kalian masuk kedalam surga dengan penuh kedamaian.” (HR. al-Hakim, Ibnu Majah, dan at-Tirmidz )

Kamis, 29 Januari 2009

TAFSIR AL-QURAN KARYA A. HASAN

AL-FURQAAN
ألفرقان))
TAFSIR AL-QURAN KARYA A. HASAN
(Telaah Umum Terhadap Karya Keseluruhan dan Metodologi penafsirannya)
Oleh : Aep Jamaluddin

MUQADDIMAH
Al-Qur’an sebagai mukjizat terbesar dalam sejarah ke-Rasulan telah terbukti mampu menampakkan sisi kemukjizatannya yang luar biasa, bukan hanya eksistensinya yang tidak pernah rapuh dan kalah oleh tantangan zaman, tetapi al-Qur’an selalu mampu membaca setiap detik perkembangan zaman, sehingga membuat kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ini sangat absah menjadi referensi kehidupan umat manusia. Karena menurut Rahman al-Qur’an merupakan sebuah dokumen untuk umat manusia sekaligus sebagai petunjuk bagi umat manusia.

Al-Qur’an tidak hanya berbicara tentang moralitas universal kehidupan dan masalah spritualitas, tetapi juga menjadi sumber ilmu pengetahuan manusia yang unik dalam sepanjang kehidupan umat manusia.

Al-Qur’an bagi kaum muslimin adalah kalamullah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad, Nabi yang ummi melalui perantara Jibril selama kurang lebih dua puluh tiga tahun lamanya. Proses penurunan wahyu dalam kurun waktu tersebut dilakukan dengan cara bertahap sesuai dengan kebutuhan sosial masyarakat pada masa Nabi, sehingga terangkum menjadi 30 juz, 114 surat dan 6666 ayat .

Sebagai firman Allah, Al-Qur’an merefleksikan firman Allah yang memuat pesan-pesan ilahiyah untuk umat manusia. Secara bahasa, Al-Qur’an memang menggunakan bahasa manusia, karena al-Qur’an memang ditujukan kepada umat manusia sehingga harus bisa mengadaptasi bahasa yang menjadi objek dan sasaran al-Qur’an. Aka tetapi, di balik rangkaian ayat-ayat al-Qur’an tersebut, kadang kala pesan substansial dari makna hakiki al-Qur'an tidak nampak secara eksplisit. Para pembaca al-Qur’an masih harus mampu melakukan kerja-kerja penafsiran dengan merujuk kepada kitab-kitab tafsir para ulama secara maksimal untuk menemukan pesan ideal Allah di balik ayat al-Qur’an yang tersurat.
Munculnya berbagai model dan metode penafsiran terhadap al-Qur’an dalam sepanjang sejarah umat Islam merupakan salah satu bentuk upaya membuka dan menyingkap pesan-pesan teks secara optimal sesuai dengan kemampuan dan kondisi sosial sang mufasir. Telah banyak ulama-ulama tafsir yang mencoba menafsirkan Al-Qur'an hingga terciptanya kitab-kitab tafsir sampai saat ini. Baik kitab-kitab tafsir karya ulama-ulama timur tengah hingga kitab tafsir hasil karya ulama local Indonesia, seperti kitab tafsir Qur'an al-Furqan karya A. Hasan yang akan kita bahas ini dan yang lainnya, yang masing-masing mempunyai cirri khas tersendiri. Kekhasan tersebut dapat kita lihat dari bagaimana cara mufassir tersebut menafsirkan dan dengan menggunakan metode apa.
Dibawah ini akan diurai mengenai salah satu kitab tafsir local karya A. Hasan yang muncul pada abad 20-an. Ada kekhasan tersendiri dalam kitab ini dalam menafsirkan ayat al-Qur'an. Oleh karenanya siapa pengarang dan bagaimana tentang kitab tafsir ini, insya Allah akan diurai di bawah ini.
PROFIL TOKOH
Nama asli beliau adalah Hassan bin Ahmad dan kemudian lebih dikenal dengan sebutan Hassan Bandung ketika sudah tinggal di kota Bandung. Saat masih menetap di Bangil, biasa dipanggil dengan Ahmad Hassan Bangil. Beliau lahir di Singapura pada tahun 1887. Beliau adalah ulama yang dikenal sangat berpendirian teguh dan ahli dalam berbagai ilmu keagamaan. Pembaru terkemuka dari kalangan Persatuan Islam (Persis) ini, juga terkenal sebagai politikus ulung. Beliau lahir hasil pernikahan Hasan dan Muznah. Mereka menikah di Surabaya ketika Ahmad sedang melakukan perjalanan dagangnya di kota tersebut. Usai menikah, Ahmad memboyong istrinya ke Singapura. Meski lahir di Surabaya, Muznah berasal dari Palekat Madras Selain berdagang, Ahmad (ayah Hasan) adalah seorang wartawan. Ia adalah pemimpin Koran Nurul Islam yang terbit di Singapura. Beliau juga ahli dalam hal agama dan bahasa. Dia menunaikan ibadah haji di tahun 1956. Pada saat berada di Tanah Suci, Ahmad Hassan jatuh sakit hingga terpaksa dibawa pulang kembali. Kemudian tertimpa lagi penyakit baru, yakni infeksi yang menyebabkan kakinya harus dipotong. Tokoh kharismatik ini meninggal dunia pada usia 71 tahun di Bangil (Jawa Timur), 10 November 1958.
Pendidikan
Secara formal, Hasan tak pernah benar-benar menamatkan sekolah formalnya yang ditempuhnya di Singapura, dikarenakan pada usia 12 tahun Hasan sudah diajak berdagang, menjaga toko milik iparnya, Sulaiman. Seiring dengan itu, oleh ayahnya Ahmad Hassan diinginkan meneruskan jejaknya menjadi penulis. Sehingga, semenjak kecil ia sudah mendapatkan pendidikan agama dari orang tuanya. Di usia 7 tahun, Hassan muda mulai mempelajari kitab suci Alquran serta pengetahuan dasar keagamaan. Hanya dalam tempo dua tahun, kedua pelajaran ini dapat dikuasainya karena ditunjang ketekunan dan kecerdasan. Setelah itu dia masuk sekolah Melayu selama 4 tahun untuk belajar bahasa Arab, Melayu, Tamil dan Inggris. Pendidikan ini selesai 4 tahun. Kemudian, kegiatan menimba ilmunya banyak dilakukan dengan berguru pada sejumlah ulama. Di antaranya adalah Haji Ahmad Kampung Tiung, Haji Muhammad Taib Kampung Rokoh, Said Abdullah al-Munawi al-Mausili, Abdul Latif, Haji Hasan, dan Syekh Ibrahim India.
Aktivitas
Tak hanya ilmu pelajaran saja yang ditekuni, Ahmad Hassan juga terbiasa mengisi waktu luangnya dengan mengasah keterampilan, seperti menenun dan bertukang kayu. Selain itu, di waktu tertentu dia membantu ayahnya di percetakan. Di usia remaja, Ahmad Hassan juga aktif menulis dan hal ini tentu sangat menyenangkan bagi sang ayah. Tahun 1909, karya tulisannya untuk pertama kali dipublikasikan dan dia pun diangkat menjadi pembantu surat kabar Utusan Melayu, terbitan Singapura. Tulisan-tulisannya banyak mengandung kritik konstruktif khususnya bagi kemajuan dan perkembangan umat Islam. Pada tahun 1912, A. Hasan bekerja di Utusan Melayu yang diterbitkan oleh Singapura Press. Beliau menulis artikel yang berisi nasihat-nasihat, mengajak kepada kebaikan dan menjauhi kepada kemungkaran. Tidak jarang beliau menulis dalam bentuk puisi yang menyentuh. Dalam perkembangannya, Tulisan Hasan menemui bentuknya. Yakni punya sikap yang tegas terhadap persoalan yang menurut dia masuk ke wilayah prinsip. Misalnya mengecam keras terhadap Qadli (hakim) yang memeriksa perkara dan mengumpulkan antara pria dan wanita dalam tempat duduk yang sama. Di surat kabar ini beliau bekerja sampai tahun 1916.
Masih banyak kegiatan yang dia lakukan. Seperti misalnya, saat bekerja menjadi guru di madrasah untuk orang-orang India di beberapa tempat di Singapura. Di samping itu, di luar jam mengajar ia masih pula mencari nafkah dari sumber-sumber yang halal. Tercatat, ia pernah menjadi pedagang batu permata, agen es, pedagang pakaian, penambal ban mobil dan selama setahun menjadi kerani kepaka di Pilgrim Office yang mengurusi perjalanan haji ke Tanah Suci. Ahmad Hassan baru kembali ke Indonesia, tepatnya ke Surabaya, pada tahun 1921 saat mengurus toko kain milik guru sekaligus pamannya, Haji Abdul Latif.
Pemikiran
Kebetulan berada di Bandung, dia menyaksikan pergolakan pemikiran keagamaan yang sedang hangat antara kaum muda dan tua. Kaum tua mempertahankan tradisi keagamaan yang telah mapan dan berkembang di masyarakat. Sementara itu, para pemuda ingin menghapuskan segala sesuatu yang tidak punya landasan Alquran dan Hadis Nabi. Awalnya, Ahmad Hassan cenderung sepakat dengan pendapat kaum tua. Pada waktu itu, dia bertemu dengan KH Abdul Wahab Hasbullah, seorang tokoh NU. Tak lama, keduanya lantas bersahabat dengan wakil kaum tua ini. Namun lama kelamaan, saat harus menghadapi persoalan yang muncul, dia menjadi kurang puas dengan jawaban-jawaban yang diberikan oleh kaum tua. Beberapa saat kemudian, ia bertemu dengan seorang pedagang dan ulama asal Sumatra Barat bernama Pakih Hasyim. Ulama ini telah banyak mendalami pemikiran pembaruan kaum muda di tempat asalnya. Dengan segera saja, keduanya menjalin pertemanan yang akrab. Kendati demikian, usaha dagang yang dijalaninya tidak berhasil baik. Toko yang ia kelola mengalami kemunduran hingga terpaksa dikembalikan kepada Haji Abdul Latif. Selanjutnya, dia menggeluti usaha tambal ban serta mempelajari cara bertenun di Kediri. Tahun 1942, Ahmad Hasan meneruskan sekolah tenunnya di Bandung dan tinggal di kediaman keluarga KH M Yunus, yang dikenal sebagai pendiri Persatuan Islam (Persis). Sejak itulah ia kembali terlibat urusan keagamaan.
Ketika usahanya tidak lagi punya prospek cerah, Ahmad Hassan mencurahkan daya pikirannya untuk memajukan Persis. Oleh sahabat-sahabatnya, dia diminta untuk menjadi guru agama dan menetap di Bandung. Akan tetapi, pada saat luang, dia pun meneruskan bakatnya yang lama yakni menulis. Buah karya pertamanya yang mendapat sambutan luas masyarakat, yakni yang berjudul Tafsir al-Furqan. Tulisan tersebut dicetaknya sendiri. Pada masa itu, dia berkenalan dengan Soekarno. Perkenalan ini bermanfaat besar dalam mengenal agama Islam secara lebih mendalam, meski di sana sini timbul benturan pemikiran di antara mereka. Selain itu dia pun berkenalan dengan M Natsir. Bersama Natsir, keduanya kemudian menerbitkan majalah Pembela Islam dan majalah Al-Lisan. Di kedua majalah itu, Ahmad Hassan memperlihatkan sosok dan kapasitas pribadinya sebagai pembela, pemurni, dan pembaru Islam. Namanya pun menjadi terkenal di pelosok Nusantara, Malaysia bahkan Singapura. Ketika membela panji-panji ajaran Islam, Ahmad Hassan tak hanya melakukannya lewat karya tulisan, tetapi juga melalui perdebatan lisan. Kepiawaiannya dalam berdebat itu menyebabkan banyak lawan debatnya kalah dan kembali ke jalan yang benar. Satu hal penting, dia tidak pernah memilih-milih lawan berdebat. Siapa saja, kapan saja, dan dimana saja debat akan dilakoninya asal demi upaya menegakkaan ajaran Islam. Persis kian dikenal masyarakat luas seiring kiprah keagamaan dari Ahmad Hasaan. Setelah itu, pada tahun 1941, dia hijrah ke Bangil. Di tempat baru tersebut, dia masih tetap bersemangat mengembangkan Persis, menulis, bertablig, dan berdebat.
Peran A. Hasan di Indonesia
Ahmad Hasan dikenal sebagai salah satu tokoh pembaharuan di Indonesia. A. Hasan pada pertengahan abad 20-an bergabung dengan organisasi Persatuan islam (Persis) yang baru berdiri di Bandung, dimana beliau sebagi salah satu pendiri organisasi itu. Melalui Persis ini beliau dikenal luas sebagai pemikir Muslim yang teguh menyerukan sikap memurnikan Islam dengan kembali kepada Quran dan Sunnah, mengajak kepada ijtihad serta meninggalkan taklid dan bid'ah.
Pada tahun 1941 . Hasan pindah ke Bangil (Jawa Timur) dan mendirikan pesantren Persatuan islam dimana beliau semakin berkonsentrasi memperjuangkan fikirannya, dengan menerbitkan majalah, menulis buku, surat menyurat, berpolemik bahkan berdebat. Dengan Soekarno beliau pernah berpolemik yang kemudoan dibukukan dengan Islam dan kebangsaan. Soekarno uga pernah melakukan surat menyurat dengan beliau (sebagaimana tertulis dalam surat-surat dari Endeh pada buku di bawah bendera revolusi) dimana Soekarno menyatakan penghargaan terhadap pemikiran ke-Islaman A. Hasan.
Ahmad Hasan memiliki gagasan keagamaan progressif yang beliau sampaikan secara lugas dan argumentasi yang akurat, yang kemudian mampu memberikan pengaruh cukup berarti terhadap gerakan pembaharuan Islam di Indonesia.
TOKOH DAN KARYANYA
 Sekilas Karya A. Hasan
Berdasarkan catatan, Ahmad Hassan telah menulis puluhan buku mengenai masalah keagamaan, terutama fikih (usul fikih), tafsir, hadis, dan ilmu kalam. Beberapa karyanya yang cukup populer adalah Soal-Jawab, Tafsir al-Furqan, Pengajaran Shalat dan at-Tauhid, Islam dan Kebangsaan, Madzhab dan Taklid, Risalah ahmadiah, Bibel Lawan Bibel, Wanita di podium, dan lain-lain.

 Kitab Tafsir Sang Tokoh
A.Hasan salah seorang tokoh pembaharu Islam di awal abad ke-20, menulis tafsir yang diberi nama tafsir al-Furqan.Tokoh Persis ini menulis tafsirnya dari tahun1920 hingga 1950. Beberapa juz yang telah selesai ditafsirkan lalu diterbitkan pertama kali tahun 1928. Atas desakan anggota Persis, ia kembali menerbitkan tafsirnya tahun 1941, tidak lengkap 30 juz hanya sampai surat Maryam. Barulah pada tahun 1953, atas bantuan seorang pengusaha yaitu Sa'ad Nabhan tafsir al-Furqan dilanjutkan penulisannya secara keseluruhan dari juz pertama sampai juz 30, hingga pada akhirnya dapat diterbitkan pada tahun 1956. Oleh karena tafsir al-Furqan ditulis pada masa yang telah lampau, maka bahasa Indonesia yang digunakan tidak seperti bahasa Indonesia yang ada dan difahami pada masa kini. Banyak kata-kata dulu yang berbeda pemahamannya pada masa sekarang ini. Seperti "ketua kaum" yang berarti 'pemuka' atau 'pemimpin kaum', atau "sebarang syak" yang memiliki pengertian 'tidak ada keraguan sedikitpun', atau struktur kalimat yang dapat memberikan pemahaman yang keliru seperti "Hal keadaan mereka kekal padanya Selama-lamanya, kareana sesungguhnya Allah itu di sisinya ada ganjaran yang besar" (QS. 9:22)

Dalam menyusun tafsirnya, A.Hasan memulai dengan menuliskan pendahuluan yang terdiri dari 34 pasal. Di dalamnya dijelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan al-Qur'an dan tafsirnya. Di antaranya ia menjelaskan mengenai beberapa istilah dalam bidang tafsir.

Metode tafsir yang dipakai A.Hasan adalah mula-mula ia menerjemahkan ayat-ayat al-Qur'an dengan menggunakan metode harfiah, yaitu penerjemahan kata demi kata. Kecuali terhadap beberapa kata yang tidak memungkinkan untuk diterjemahkan dengan metode ini , maka ia menggunakan metode maknawiyah. Selanjutnya ia memberikan kesimpulan bahasan setiap akhir surat.

 Profil Kitab
Tafsir Qur'an Al-Furqaan ini adalah karya besar dan penting yang dimiliki oleh (Alm.) A. Hasan. Penulisan tafsir ini merupakan langkah pertama dalam sejarah penerjemahan Al-Qur'an ke dalam bahasa Indonesia.

Penulisan tafsir Al-Furqan berlangsung berlangsung dalam kurun waktu 1920-1950-an. Terbagi kedalam empat edisi penerbitan sampai sekarang. Edisi pertama diterbitkan pada tahun 1928, akan tetapi dalam edisi pertama ini belum seperti yang diharapkan, karena baru dapat memenuhi sebagian ilmu yang diharapkan oleh umat Islam Indonesia. Kemudian sebagai pemenuhan desakan anggota Persatuan Islam, edisi ke dua tafsir tersebut dapat diterbitkan pada tahun 1941, namun ketika itu hanya sampai surat Maryam. Selanjutnya pada tahun 1953, penulisan kitab tafsir tersebut dilanjutkan kembali atas bantuan seorang pengusaha yang bernama Sa'ad Nabhan hingga akhirnya tulisan Tafsir Al-Furqan dapat diselesaikan secara keseluruhan (30 juz) dan dapat diterbitkan pada tahun 1956, yang kemudian tahun 2006, tafsir al-Furqan kembali diterbitkan oleh Pustaka Mantiq bekerjasama dengan Universitas al-Azhar Indonesia, dalam satu jilid.

Metode penerjemahan tafsir al-Furqan ini menggunakan metode harfiah, yaitu penerjemahan kata demi kata, kecuali terhadap beberapa kata yang tidak memungkinkan untuk diterjemahkan secara harfiah, akan tetapi penulis menggunakan metode maknawiyah. Selanjutnya ia memberikan kesimpulan bahasan pada setiap akhir surat.

TOKOH DAN METODOLOGI PENAFSIRANNYA
Seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa metode tafsir yang dipakai A. Hassan adalah metode harfiyah, yaitu penerjemahan kata demi kata. Kecuali terhadap beberapa kata yang tidak memungkinkan untuk diterjemahkan dengan metode ini, maka ia menggunakan metode maknawiyah. Seperti perkataan beliau yang kami kutip dari muqadimah kitab Al-Furqan cetakan Pustaka Mantiq yang bekerja sama dengan Universitas A-Azhar Indonesia Cetakan 2006, "Dalam menerjemahkan ayat, sedapat mungkin saya lakukan pad setiap kata. Jika cara itu tidak dapat dilakukan, baru saya menerjemahkan suatu kata dengan melihat maknanya, karena menurut saya, cara itu akan berguna bagi orang yang teliti dalam melihat tejemahan." Hal ini dilakukan oleh penulis dengan maksud berusaha mempertahankan sepenuhnya nuansa teks asli dalam terjemahnya. Akan tetapi metode ini pula diakui oleh beliau tidak menghasilkan terjemahan yang mudah difahami oleh setiap orang yang membacanya, dan tidak begitu sejalan dengan kaedah-kaedah bahasa Indonesia. Sehingga dalam beberapa hal beliau menerjemahkan secara maknawiyah.
Contoh penerjemahan beliau ketika menerjemahkan secara maknawiyah, seperti ketika beliau menerjemahkan 'qaala lahu'. Ketika diterjemahkan kata perkata berarti 'dia berkata baginya', tapi beliau menerjemahkan 'dia berkata kepadanya'. Contoh lain 'aamanaa billaahi', biasanya diterjemahkan dia percaya dengan Allah', tetapi beliau terjemahkan ' dia percaya kepada Allah'.
Dalam penerjemahan ayat-ayat al-Qur'an, A. Hasan memberikan tekanan yang berbeda. Seperti, menurut bahasa Arab, frasa al-hamdu lillaahi diterjemahkan dengan 'segala puji (hanya milik) Allah, Tuhan semesta alam', tetapi Lillaahil-hamdu diterjemahkan 'kepunyaan Allah-lah segala pujian'. Na'buduka diterjemahkan 'kami menyembah-Mu' tapi iyyaka na'budu diterjemahkan hanya Engkaulah yang kami sembah'. Huwa samii'un diterjemahkan 'Dia Yang Mendengar', tetapi huwa samii'u diterjemahkan Dialah Yang Maha Mendengar'.
Adapun jika kita lihat, sebenarnya metode penerjemahan harfiyah ini merupakan bagian dari pada metode ijmali (global). Yaitu sebuah metode penafsiran yang mencoba menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas dan padat, tetapi mencakup (global). Metode ini juga mengulas setiap ayat al-Qur’an dengan sangat sederhana, tanpa ada upaya untuk memberikan pengkayaan dengan wawasan yang lain, sehingga pembahasan yang dilakukan hanya menekankan pada pemahaman yang ringkas dan bersifat global.
Dalam metode ini, mufassir berupaya untuk menjelaskan makna-makna al-Qur’an dengan uraian singkat dan mudah dipahami oleh pembaca dalam semua tingkatan, baik tingkatan orang yang memiliki pengetahuan yang ala kadarnya sampai pada orang yang berpengetahuan luas.

Dengan kata lain, metode tafsir ijmali menempatkan setiap ayat hanya sekedar ditafsirkan dan tidak diletakkan sebagai obyek yang harus dianalisa secara tajam dan berwawasan luas, sehingga masih menyiasakan sesuatu yang dangkal, karena penyajian yang dilakukan tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur’an, sehingga membaca tafsir yang dihasilkan dengan memakai metode ijmali, layaknya membaca ayat al-Qur’an. Uraian yang singkat dan padat membuat tafsir dengan metode ijmali tidak jauh beda dengan ayat yang ditafsirkan.
Proses penafsiran dengan menggunakan metode ijmali sebenarnya tidak jauh beda dengan metode-metode yang lain, terutama dengan metode tahlili (analitis). Mekanisme penafsiran dengan metode ijmali dilakukan dengan cara menguraikan ayat demi ayat ayat serta surat demi surat yang ada dalam al-Qur’an secara sistematis. Semua ayat ditafsirkan secara berurutan dari awal sampai akhir secara ringkas dan padat dan bersifat umum. Uraian yang dilakukan dalam metode ini mencakup beberapa aspek uraian terkait dengan ayat-ayat yang ditafsirkan, antara lain :
1. Mengartikan setiap kosakata yang ditafsirkan dengan kosakata yang lain yang tidak jauh menyimpang dari kosa kata yang ditafsirkan.
2. Menjelaskan konotasi setiap kalimat yang ditafsirkan sehingga menjadi jelas.
3. Menyebutkan latar belakang turunnya (azbabun nuzul) ayat yang ditafsirkan, walaupun tidak semua ayat disertai dengan azbabun nuzul. Azbabun nuzul ini dijadikan sebagai pelengkap yang memotivasi turunnya ayat yang ditafsirkan. Azbabun nuzul menjadi sangat urgen, karena dalam azbabun nuzul mencakup beberap hal :
a. peristiwa
b. pelaku, dan
c. waktu.
4.Memberikan penjelasan dengan pendapat-pendapat yang telah dikeluarkan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, tabi’in maupun tokoh tafsir

KEISTIMEWAAN METODOLOGINYA
Metode ijmali yang dipakai oleh para mufasir memang sangat mudah untuk dibaca karena tidak mengandalkan pendekatan analitis, tetapi dilakukan dengan pola tafsir yang mudah dan tidak berbelit-belit, walaupun masih menyisakan sesuatu yang harus ditelaah ulang. Metode ijmali memiliki tujuan dan target bahwa pembaca harus bisa memahami kandungan pokok al-Qur’an sebagai kitab suci yang memberikan petunjuk hidup.
Metode ijmali berbeda jauh dengan metode komparatif maupun metode tematik. Kedua metode tersebut lebih populer di kalangan dunia tafsir, sementara metode ijmali tidak sepopuler kedua metode tersebut. Adapun keistimewaannya dapat kita lihat dari cirri-ciri khas metode ijmali, antara lain:
Petama, mufasir langsung menafsirkan setiap ayat dari awal sampai akhir, tanpa memasukkan upaya perbandingan dan tidak disertai dengan penetapan judul, seperti yang terjadi pada metode komparatif (muqaran) dan metode maudhu’I (tematik).

Kedua, penafsiran yang sangat ringkas dan bersifat umum, membuat metode ini lebih sanat tertutup bagi munculnya ide-ide yang lain selain sang mufasir untuk memperkawa wawasan penafsiran. Oleh karena itu, tafsir ijmali dilakukan secara rinci, tetapi ringkas, sehingga membaca tafsir dengan metode ini mengesankan persis sama dengan membaca al-Qur’an.

Ketiga, dalam tafsir-tafsir ijmali tidak semua ayat ditafsirkan dengan penjelasan yang ringkas, terdapat beberapa ayat tertentu (sangat terbatas) yang ditafsirkan agak luas, tetapi tidak sampai mengarah pada penafsiran yang bersifat analitis. Artinya, walaupun ada beberapa ayat yang ditafsirkan agak panjang, hanya sebatas penjelasan yang tidak analitis dan tidak komparatif.

ANALISA DAN KRITIK
Sebelum kita melihat lebih dalam tentang tafsir al-furqan baiknya kita mengetahui terlebih dahulu sebagai bahan perenungan apa itu tafsir, ta'wil dan terjemah. Apa bedanya tafsir dengan ta’wil dan tafsir dengan terjemah Qur’an.
Perbedaan Tafsir, Ta'wil dan Terjemah
Tafsir
Istilah tafsir bagi kita sudah begitu masyhur, populer. Istilah tafsir tidak hanya digunakan sebagai penjelas-penjelas mengenai kitabullah saja, akan tetapi juga digunakan untuk istilah lain juga, seperti: tafsir undang-undang, tafsir qanun asasi (bagi suatu organisasi), dan lain sebagainya. Secara bahasa arti tafsir adalah menjelaskan dan merinci. Sementara terminology dari tafsir seperti yang diungkapkan az-Zahaby dalam at-tafsir wal mufassiruun adalah Pengetahuan yang membahas maksud-maksud Allah (yang terkandung dalam al-Qur'an) seauai dengan kemampuan manusia, maka dia mencakup sekalian (pengetahuan) untuk memahami makna dan penjelasan dari maksud (Allah) itu.
Ta'wil
Adapun ta'wil berbeda dengan tafsir. Menurut ulama salaf, ta'wil mengandung dua pengertian, yaitu:
1. Ta'wil ialah mena'wilkan kalamullah dan menjelaskan pengertiannya, baik sesuai dengan makna dzahir dan bertentangan. Maka menurut pendapat ini kata ta'wil muradif (sinonim) dengan kata tafsir.
2. Ta'wil ialah maksud kalimat itusendiri, jika kalimat itu menunjukan tuntutan (perintah atau larangan), maka takwilnya adalah perbuatan yang ditntut itu. Jika kalimat itu berupa khabar, maka takwilnya adalah sesuatu yang diberitaka itu.
Adapun menurut ulama mutaakhirin, para ahli fiqih, ahli ilmu kalam, ahli hadits dan ahli ilmu tasawuf, takwil adalah memalingkan lafaz dari makna yang rajah kepada makna yang marjuh karena ada dalil yang menghendaki.
Perbedaan antara tafsir dengan ta'wil, menurut Ar-Raghib Al-Ashfahani ialah tafsir itu lebih umum dari pada ta'wil. Kebanyakan penggunaan tafsir itu dalam lafadz, sedangkan ta'wil dalam makna menafsirkan mimpi. Kebanyakan ta'wil itu dipergunakan dalam kitab-kitab Tuhan, sedangkan tafsir dipergunakan dalam kitab-kitab Tuhan lainnya. Kebanyakan tafsir dipergunakan dalam mufradat lafadz. Ta'wil itu kebanyakan dipergunakan dalam kalimat-kalimat.
Terjemahan
Menurut bahasa terjemah artinya memindahkan kalimat dari satu bahasa ke bahasa lain (alih bahasa). Sedangkan menurut istilah adalah mengungkapkan pengertian kalimat dalam suatu bahasa dengan kalimat bahasa lain lengkap dengan seluruh pengertian dan maksud-maksudnya.
Dalam kaitannya dengan istilah menterjemah Al-Qur'an, Az Zurqany membaginya kae dalam dua bagian, yaitu:
Terjemah harfiyah, yaitu terjemah yang susunan dan urutan-urutan katanya selalu terpelihara, sehingga menterjemah itu sama dengan sama dengan meletakan kata-kata persamaan (sinonim) dengan sinonimnya (ke dalam bahasa baru). Sebagian orang menyebut terjemahan ini dengan terjemah lafdziah (leterlijkl) dan sebagian orang menyebutnya dengan musawiyah.
Menurut Alwi bin As-Syayyid Abbas, bahwa terjemahan dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a. Terjemahan harfiyah bil mitsl, yaitu menyalin kata-kata dari bahasa asli dengan kata persamaan dari bahasa baru, tanpa menghiraukan makna kalam asli, akan tetapi sudah terpancang pada susunan urut lafaz bahasa asli.
b. Terjemah harfiyah bi duunil mitsl, yaitu menyalin kata-kata dari bahasa asli dengan kata persamaan dari bahasa yang baru, dengan memperhatikan urut makna dan rahasia sastra di bawah kemampuan bahasa yang baru dan kemampuan orang yang menterjemahkan.
c. Terjemah tafsiriyah/maknawiyah, yaitu terjemah yang tersusun dan urutan-urutan kata-katanya tidak terpelihara. Yang dipentingkan ialah baiknya pengertia-pengertian dan tujuan-tujuannya secara sempurna. Oleh karena itu disebut juga dengan terjemahan maknawiyah. Dan disebut tafsiriyah karena baiknya pengertian dan tujuan dari pada kalam sehingga menyerupai tafsir, namun bukan tafsir.
Makna Metode Terjemah Harfiyah dalam Al-Furqaan
Metode terjemah harfiyah di sini maksudnya adalah seperti sebagai berikut:
Qur’an ketika masih dalam bentuk Arabnya, seperti yang bisa ditemui dalam mushaf, merupakan wujud awal yang berasal dari bahasa Allah sebagai Tuhan. Namun, setelah Qur’an itu diterjemahkan, Qur’an dalam bentuk yang kedua ini merupakan hasil ijtihad seorang manusia yang mencoba memahami dan mengalih bahasakan bahasa Tuhan ke dalam bahasa manusia. Di sinilah kerja penerjemah mempunyaai kesamaan yang asasi dengan kerja penafsir. Dimana seseorang harus menggunakan ijtihad dalam menerjemahkan suatu ayat dalam hal memilih makna yang tepat, seperti halnya dalam terjemah maknawiyah yang disebut juga terjemahan tafsiriyah. Sehingga kemungkinan dengan adanya penerjemahan maknawiyah ini lah yang menyebabkan al-Furqaan dikatakan sebagai kitab tafsir.
Satu sisi bahasa Arab terlalu kompleks untuk dimaknai dengan bahasa Indonesia, yang pada banyak bagian masih terbatas dalam memberikan padanan terhadap konsep kata dalam bahasa Arab. Sebagai contoh kata خوف dan kata خشية , yang keduanya dalam bahasa Indonesia diartikan ‘takut’. Padahal, masing-masing mempunyai konsekuensi semantik yang berbeda. Kata خشية mempunyai nilai cakupan semantik lebih tinggi daripada kata خوف. Kata خشية mengandung arti ‘rasa takut yang besar bercampur baur dengan rasa hormat, meskipun orang yang takut itu adalah orang kuat’, sedangkan kata خوف lebih berarti ‘ketakutan yang disebabkan oleh ketakutan orangnya, meskipun sesuatu yang ditakuti itu bukanlah hal yang layak untuk ditakuti’.
Oleh karena itu makna harfiyah dalam al-Furqaan adalah pengalihan bahasa yang mengindikasikan kepada tafsiran ayat dengan metode pemilihan arti kata yang sesuai dan mengena untuk menghasilkan makna yang dapat dimengerti.
Tafsir Al-furqaan Lebih Cenderung Sebagai Terjemah Al-Qur'an
Ketika melihat tafsir Al-Furqan, dan membuka lebaran-lembarannya, maka kesan awal yang tersirat adalah bahwa itu sebuah kitab terjemah Al-Quran, bukan kitab tafsir. Karena tidak ada kesan seperti kitab tafsir pada umumnya. Al-Furqaan seperti terjemah Al-qur'an sebagaimana terjemahan yang lainnya, yang dibubuhi dengan catatan kaki. Itupun tidak semua surah ada catatan kakinya, bahkan ada surah yang sama sekali tidak ada catatan kakinya, seperti surah Quraisy. Berbeda dengan kitab-kitab tafsir yang lainnya, dimana penjelasan atas suatu ayat terurai panjang dengan menyertakan dalil-dalilnya, baik tafsir itu ma'tsur ataupun ra'yi, seperti halnya tafsir Ibnu Katsir, tafsir Hamka dan lainnya.
Seperti diurai diatas, tafsir dan terjemahan berbeda secara definisi dan juga penempatannya. Jika tafsir adalah mengurai makna-makna. hukum-hukum, dan hikmah-hikmahnya, sementara terjemah hanyalah sebatas memindahkan bahasa Al-Qur'an ke dalam bahasa-bahasa lainnya.
Adapun metode harfiah yang dimaksud adalah metode dalam penerjemahan, bukan dalam penafsiran. Seperti yang telah diurai di atas, dalam penerjemahan ini A. Hasan cenderung memakai metode terjemah harfiyah dan kemudian ada beberapa bagian yang diterjemahkan secara maknawiyah. Jika dikatakan Al-Furqaan adalah tafsir, maka yang jadi pertanyaan adalah, apa metode yang dipakai? Perhatikan dengan seksama tentang catatan-catatan yang A. Hasan bubuhkan pada al-furqaan. Catatan –catatan tersebut singkat dan hanya menjelaskan maksud ayat yang kurang jelas secara singkat dan umum. Melihat dari sana, maka metode yang dipakai oleh A. Hasan dalam menafsirkan Al-Quran adalah dengan memakai metode ijmali. Adapun metode ijmali A. Hasan terkesan hanya seperti terjemah biasa yang dibubuhi catatan-catatan kecil. Sementara jika kita rujuk kepada definisi tafsir secara umum, bahwa tafsir merupakan ilmu memahmi al-Qur'an dengan menjelaskan makna-maknanya, hukum-hukumnya, hikmah-hikmahnya yang didukung dengan ilmu-ilmu ushul lainnya. Lalu jika tafsir al-Qur'an hanya seperti itu (seperti terjemah al-Qur'an biasa), maka kita tidak dapat memahami apa-apa, atau sebatas apa yang kita fahamai pada terjemahnya saja. Adapun yang tersirat di dalam ayat-ayat al-Quran yang syarat dengan makna tidak kita dapatkan secara eksplisit.
Metode Ijmaly dalam Tafsir Al-furqaan
Seperti yang telah disebut di atas, A. Hasan memakai metode ijmali dalam menafsirkan al-Qur'an. Dimana tafsir itu hanya menafsirkn ayat secara global, sehingga makna-makana yang tersirat di dalamnya tidak dapat diungkap secara eksplisit.
Ketika kita membuka tafsir Al-Furqaan dan melihatnya sebagai sebuah kitab tafsir, maka metodologi apa yang diterapkan akan membuat kita sedikit kebingungan dalam mencernanya. Pasalnya disana tidak ada hal-hal yang menunjukan bahwa itu adalah tafsir. Seperti dalil-dalil misalnya. Adapun catatan-catatan kaki yang ada terlalu singkat dan umum, dan juga tidak ada yang bisa meguatkan (dalil) dari mana catatan-catatan itu bisa ada sehingga sifat-sifat ilmiyahnya terkurangi dengan hal itu.
Mengapa tafsir al-Furqan dikatakan menggunakan metode ijmali? Jika dikatakan manhaj yang dipakai adalah secara ma'tsur, maka mana dalil-dalil yang menguatkannya, ayat al-Quran, hadits, atsar ataupun perkataan tabi'in? tidak ada. Maka tidak bisa dikatakan dalam kitab ini (al-furqaan) manhaj penafsirannya secara ma'tsur.
Lalu bagaimana dengan metode yang lainnya, bil ra'yi, tahlili, ijmali? jika kita lihat, seperti yang telah diuraikan di atas, metode yang dipakai oleh A. Hasan cenderung ke arah ijmali.
Sebagai perbandingan, ataupun supaya lebih jelas, saya cantumkan tiga contoh surat yang diambil dari kitab tafsir al-Furqaan edisi 2008 yang diterbitkan oleh CV. Mantiq Jakarta.
Surat at-Takatsur
                          •        • 
1. Berlebih-lebihan telah melalaikanmu,1
2. Hingga kamu melawat kubur.2
3. Tidk sekali-kali,3 (bahkan) kamu akan mengetahui,
4. dan4 tidak sekali-kali, (bahkan) kamu akan mengetahui.
5.Tidak sekali-kali, (alangkah baiknya) kalau kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin.
6. Sesungguhnya kamu akan melihat neraka itu,
7. dan4 sesungguhnya kamu akan melihatnya dengan penglihatan yang yakin,
8. Kemudian sesungguhnya kamu akan diperiksa pada hari itu tentang kenikmatan.5
Catatan :
1. Kamu telah lalai karena harta benda, kemuliaan, kesenangan dan banyak lainnya.
2. Yakni, hingga kamu mati.
3. Persangkaanmu bahwa harta dan kemuliaanmu dapat menolongmu itu tidak benar sama sekali.
4. Kata sambung "dan" dalam dua ayat itu padanan dari kata "tsumma' yang makna asalnya adalah 'kemudian', tetapi dibeberapa tempat dipakai dengan arti "dan".
5. Kamu akan diperiksa, untuk urusan apa kamu membelanjakan nikmat-nikmat pemberian…
Surat al-Ma'un
                               
1. Tahukah kamu (orang) yang mendustakan diin?1
2. Itulah orang yang menghardik anak yatim,
3. Dan tidak menganjurkan memberi Makan orang miskin.2
4. Kecelakaan akan didapat oleh orang-orang yang shalat,3
5. yang lalai dari shalatnya,4
6. yang riya',5
7. Dan enggan memberikan pertolongan.6

Catatan :
1) Kata diin dapat berarti agama, pembalasan, atau ibadah.
2) Orang yang dimaksud di dalam ketiga ayat ini adalah orang munafik.
3) Kecelakaan di akhirat akan menimpa orang-oarang munafik seperti yang disebutkan dalam ayat-ayat di atas, yang shalat bersama orang-orang Islam.
4) Yang lalai dari memperhatikan isi shalatnya, Karen memang mereka tidak shalat karena Allah.
5) Yang berbuat sesuatu supaya dilihat dan dipuji orang lain.
6) Yakni, tidak mau member pertilingan kepada orang islam atau untuk urusan islam.

Surat al-Ashr
  •                 •             
1. Perhatikanlah masa.
2. Sesungguhnya manusia itu dalam kerugian,
3. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal baik dan saling berpesan untuk (menjalankan) kebenaran dan saling berpesan untuk (menjalankan) kesabaran.1

Catatan :
1. Manusia hidup dalam masa. Masa itu penting. Merugilah manusia yang melewatkan masanya dengan tidak mengerjakan kebaikan, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk lingkungannya.

Perhatikan tiga surat pendek di atas! Itu adalah cuplikan dari tafsir al-Furqan terbitan CV. Mantiq Jakarta. Teliti terjemahannya dan catatan-catatannya. Sepintas seperti terjemahan biasa. Lihat pula cara A. Hasan menerjemahkan ayat. Kita akan sedikit kesulitan dalam memahaminya. Struktur kalimat yang digunakan sesuai dengan struktur dalam bahasa aslinya. Proses terjemah dilakukan per-kalimat (kata) tanpa merubah strukturnya. Itulah yang disebut sebagai metode Terjemahan harfiyah bil mitsl, yaitu menyalin kata-kata dari bahasa asli dengan kata persamaan dari bahasa baru, tanpa menghiraukan makna kalam asli, akan tetapi sudah terpancang pada susunan urut lafaz bahasa asli.
Kemudian kenapa metodologi penafsirannya ijmali (global)? Perhatikan surat al-'ashr! Tiga ayat yang ada dalam surat tersebut hanya ditafsirkan dengan singkat saja. Tanpa diterangkan Masa itu apa, bagaimana, seperti apa, lalu kerugian yang bagaimana yang dimaksudkan di sana, dampaknya dan lain sebagainya. Kemudian mana dalilnya. Sementara dalam al-furqan hanya dituliskan keterangan dari A. Hasan saja, adapun dalil-dalilnya tidak diungkapkan.
PENUTUP DAN KESIMPULAN
Al-Furqaan karya a. Hasan merupakan sebuah kitab tafsir Quran yang baik dan lintas orang. Maksudnya al-furqan A. Hasan ini cocok dibaca dan menjadi referensi bagi semua orang, baik yang awam maupun yang telah mafhum dan berilmu, karena penjelasannya yang singkat dan umum.
Metode harfiyah dalam kitab al-furqaan adalah metode dalam penerjemahannya bukan dalam hal penafsiran, karena berbeda antara terjemah dengan tafsir. Adapun dalam hal penafsiran a. Hasan menggunakan metode ijmali Yaitu sebuah metode penafsiran yang mencoba menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas dan padat, tetapi mencakup (global). Metode ini juga mengulas setiap ayat al-Qur’an dengan sangat sederhana, tanpa ada upaya untuk memberikan pengkayaan dengan wawasan yang lain, sehingga pembahasan yang dilakukan hanya menekankan pada pemahaman yang ringkas dan bersifat global.
Sebenarnya al-furqaan cenderung kepada terjemah al-Qur'an, bukan tafsir. Ini terkait dengan definisi tafsir yang menggariskan bahwa tafsir itu merupakan Pengetahuan yang membahas maksud-maksud Allah (yang terkandung dalam al-Qur'an) sesuai dengan kemampuan manusia, maka dia mencakup sekalian (pengetahuan) untuk memahami makna dan penjelasan dari maksud (Allah) itu, seperti yang diungkapkan az-Zahaby dalam at-tafsir wal mufassiruun. Adapun catatan-catatan akhir itu, bagi pemakalah kurang mewakili apa yang harus ditafsirkan.
Akhirnya, kami menyimpulkan secara keseluruhan, tafsir Al-Furqaan baik untuk digunakan. Yang awam maupun bagi yang 'aalim. Adapun Segala usaha A. Hasan patut di banggakan dan disyukuri. Dengan adanya tafsir beliau kita tercerahkan dalam hal ini.
Sesungguhnya dengan segala keluasan ilmu yang dimilikinya, pemakalah tidak pantas ataupun terlalu lancang untuk mengoreksi dan mengkritisi karya besar A. Hasan tersebut. Apalagi dengan kapasitas keilmuan pemakalah yang masih tertatih-tatih dalam meraihnya. Ibarat bumi dengan langit, masih terlalu jauh pemakalah dalam mengejar ilmu beliau.
Adapun makalah ini, kami persembahkan untuk dosen kami dalam rangka memenuhi tugas beliau pada materi kuliah 'ulumul Quran, dalam bab tafsir al-Qur'an. Kekurangan dan kesalahan tentunya sudah lazim bagi kita umat manusia. Apalagi kami yang masih tertatih di tangga awal sebagai thaalib. Karena yang ma'sum hanyalah junjungan kita Rasulullah Muhammad saw..
Untuk itu, dengan segala yang ada dalam makalah ini, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada sekalian pembaca. Kami buka pintu sebesar-besarnya bagi para pembaca yang akan berapresiasi terhadap makalah ini.
Kami memohon ampun kepada Allah dan menyerahkan segala urusan kepadanya. Aquulu qaulihadza wastaghfirullah al-adziim.

Daftar pustaka
Hasan, A., Al-Furqaan Tafsir Al-Qur’an (Edisi Bahasa Indonesia Mutakhir), Jakarta : CV. Pustaka Mantiq, 2006, Cet. I
Mohammad, Herry, dkk., Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20, Jakarta : Gema Insani Press, 2006, Cet. I
Amanah, H. St., Pengantar Ilmu Al-Qur'an dan Hadits, Semarang : CV As-Syifa, 1994, Cet. II
DEPAG RI, Muqadimah Al-Quran dan Tafsirnya,1990
www.PercikanIman.ORG
http://muh-ali.blogspot.com/search?q=al+furqan
www.kampusislam.com

Kamis, 01 Januari 2009

RESENSI BUKU

Oleh : Aef Jamaluddin

Judul Buku : Tazkiyah an-Nafs (Konsep Penyucian Jiwa Menurut Para Salaf)

Penulis : Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ibnu Rajab al-Hambali, Imam Ghazali

Penerbit : Pustaka Arafa, Solo

Cetakan : Cetakan VII, November 2002/Ramadhan 1423 H.

Tebal : 154 hlm.



" Sucikan Jiwa "

Kondisi jiwa pada masa ini begitu dilematis. Tak dapat diprediksikan, seakan-akan kebenaran itu rekativ. Lahirnya era globalisasi, menuntut terjadinya asimilasi antar budaya, menyebabkan begitu sukarnya membedakan, memilah dan memilih mana yang haq dan mana yang batil, seakan mereka sama. Terlebih akhir-akhir ini muncul berbagai pemikiran yang dekstruktif yang merancukan hati dan melemahkan iman. Sehingga dengan kondisi seperti ini, maka sangat pentinglah hati untuk selalu dijaga, disuply nutrisi supaya tidak menjadi gersang, kering kerontang tanpaadanya percikan kepadanya yang akan menyetabilkan kondis jiwa dan mengembalikannya pada fitroh awal.

Hati dan jiwa akan mengalami kondisi tertentu yang berbeda. Dimana kondisi tersebut sedikit banyaknya akan mempengaruhi jiwa. Buku ini adalah salah satu solusin baginya. Tertuang di dalam buku ini hal-hal yang berkenaan dengan hati dan kejiwaan. Dimana di dalamnya terdiri dari bagian-bagian yang tersusun secara sistematis dari hal-hal yang dapat menenagkan dan mensucikan jiwa, dari mulai pengetahuan dasar tentang hati (jiwa) sampai hal-hal yang harus dilakukan sebagai konsekwensi menuju Taqarub Ilallah.

Buku ini hadir dalam dalam cetakan yang minimalis dan sederhana dengan kualitas kertas yang dibawah standar akan tatetapi ketahanan yang baik. Cover dengan latar belakangair jernih menambah suasana kesucian dan aroma kebersihan. Buku ini tersaji ilmiah dengan tercantumkannya foot not sebagai penegasan dan legaliasasi. Dikemas secara singkat, tegas dan tidak bertele-tele dalam setiap temanya, dengan tambahan sontoh-contoh sebagai pendiking. Kekuatan buku ini ada pada pengarangnya yang merupakan ulama-ulama spesialis masalah tazkiyah, seperti Ibnu Qayim, Ibnu Rajab dan Abu Hamid al-Ghazali, sehingga ketika membaca buku ini ada sedikit kekuatan karena hadirnya tokoh tersebut.

Walaupun dengan konsep yang sistematis, akan tetapi buku ini tidak mencakup semua tema ataupun hanya sebagiannya saja. Hal ini sebenarnya dapt terlihat dari pwnampilan fisiknya yang tidak begitu tebal. Ada hal-hal lain yang urgen yang belum tersampaikan. Akan tetapi secara umum buku ini bagus dan baik dibaca oleh siapa saja, terlebih bagi orang yang dalam masa pencarian jati dirinya dan mengenal jiwanya, sehingga jiwa yang gelap kembali terang dan bersinar.


Kamis, 04 Desember 2008

Mutiara kata I



“Jalan menuju BAHAGIA & SUKSES tdk selalu LURUS. Ada Tikungan bernama KEGAGALAN, Ada Bundaran bernama KEBINGUNGAN, Ada Tanjakan bernama TEMAN, LAMPU MERAH bernama MUSUH LAMPU KUNING bernama KELUARGA. Engkau akan mengalami ban Kempes dan Pecah, itulah HIDUP Tapi jika engkau membawa Ban Serep bernama TEKAD, Mesin bernama KETEKUNAN Asuransi bernama IMAN, Pengemudi bernama TUHAN, Sampailah di daerah yang disebut SUKSES & BAHAGIA Cara pandang terhadap orang lain Carilah yang baik dalam diri orang lain- itulah cara terbaik untuk menemukan kebaikan dalam diri anda sendiri. Penting mempertahankan cara pandang yang tepat dan sikap yang baik terhadap orang lain. Kita ikut berperan dalam kehidupan setiap orang yang kita sentuh, bahkan mungkin kita benar-benar memegang kunci atas masa depan seseorang. Kehidupan adalah suatu gema. Apa yang anda kirimkan ke luar akan datang kembali. Apa yang anda tabur akan anda tuai. Apa yang anda berikan akan anda peroleh. Apa yang anda lihat dalam diri orang lain akan ada dalam diri anda. Tidak peduli siapapun anda atau apa pun yang anda lakukan, kalau anda mencari cara terbaik untuk menuai imbalan terbanyak dalam segala bidang kehidupan anda, anda seharusnya mencari kebaikan dalam diri setiap orang dan dalam setiap keadaan dan menggunakan prinsip utama sebagai suatu cara hidup. Anda akan mendapatkan apa yang anda inginkan jika benar-benar mau membantu orang lain memperloah apa yang mereka inginkan. Pernikahan: Resep yang menjamin pernikahan bahagia berikut ini : 1 cangkir cinta 2 sendok kesetiaan 3 cangkir kesediaan memaafkan 1 cangkir persahabatan 5 sendok harapan 2 sendok kelembutan 4 liter iman 1 barel tertawa Aduklah cinta dan kesetiaan dan aduklah rata bersama iman. Campurlah dengan kelembutan, kebaikan hati, dan pengertian. Tambahkanlah persahabatan dan harapan. Siramlah banyak-banyak dengan tertawa. Pangganglah dengan sinar matahari. Hidangkanlah dalam porsi yang besar setiap hari. Motivasi semangat hidup: Orang perlu mencintai sebagian besar ketika mereka hanya memperoleh paling sedikit cinta. Kecemasan adalah penyalahgunaan imajinasi. Tuhan akan menyembuhkan bahkan hati yang luka kala kita memberi-Nya semua bagian yang remuk-redam tersebut. Jangan menjadi pemikir "jika" jadilah pemikir "bagaimana" Anda boleh membagi-bagikan tetapi jangan pernah menyerah Kembangkanlah hati yang besar, bukan kepala yang besar. Matematika Tuhan: Kegembiraan bertambah dan berlipat ganda kalau anda membanginya dengan orang lain Jadilah orang yang berarti, Tuhan tidak waktu untuk menciptakan orang yang tidak berarti. Sumber: See You At The Top : by Zig Ziglar

Kamis, 27 November 2008

Merubah Kemungkaran

MERUBAH KEMUNGKARAN

عن أبي سعيد الخدري قال: سمعت رسول الله صلي الله عليه وسلم يقول: من رأي منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف الإيمان.(رواه مسلم)
"Dari Abu Sa'id al-Khudri r.a, "Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, 'Barangsiapa melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubah kemungkaran tersebut denagn tangannya. Jika tidak sanggup, maka dengan lisannya. Jika tidak sanggup, maka denagn hatinya, dan itulah swelemah-lemahnya iman."1 (HR. Muslim)

Kosa kata
Melihat,mengetahui. رأي
Di antara kalian kaum muslimin. منكم
Kemungkaran, suatu yang dinilai buruk dan ditolak oleh syariat. منكرا
Maka hendaklah ia merubahnya, maka hendaklah ia melenyapkannya. فليغيره
Selama dapat dirubah dengan tangannya. بيده
Jika tidak mampu mengingkari dengan tangannya. فإن لم يستطع
Dengan lisannya, dengan ucapannya. فبلسانه
Jika tidak mampu berbicara. فإن لم يستطع
Dengan hatinya, karena mengingkarinya sebagai kewajiban. فبقلبه
Selemah-lemah iman, paling minimalnya. آضعف الإيمان
Syarah
Imam An-Nawawi berkata:
Sabdanya, "Dan itulah selemah-lemahnya iman." Bukan yang dimaksud bahwa orang yang lemah jika mengingkari dengan hatinya maka imannya lebih lemah dari pada keimanan yang selainnya. Tetapi yang dimaksud bahwa itu adalah serendah rendahnya iman. Itu mengingat karena amal adalah buah keimanan,dan buah keimanan terbesar dalam masalah mencegah kemungkaran ialah mencegah dengan tangannya. Jika ia terbunuh,maka ia mati syahid. Allah menceritakan tentang Lukman as.

" Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan mencegah (mereka) dari perbiatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu." (Lukman: 17).
Wajib mencegah kemungkaran atas orang yang mampu melakukannya dengan lisannya,meskipun kata-katanya tidak didengar. Sebagaimana halnya ketika ia tahu bahwa jika mengucapkan salam tidak ada yang menjawabnya, maka ia tetap mengucapkan salam.
Iman ibnu daqiq berkata:
Muslim mengemukakan hadits ini dari Thariq bin Syihab, ia mengatakan, "Mula-mula orang memulai khutbah pada hari raya sebelum shalat adalah Marwan. Lalu seorang berdiri kepadanya seraya mengatakan, 'Shalat Id sebelum khutbah.' Ia mengatakan, 'Telah ditinggalkan (tata cara) yang ada saat itu.
Abu Sa'id mengatakan, 'Adapun orang ini maka ia telah menunaikan apa yang menjadi kewajibannya, karena aku mendengar Rasulullah saw bersabda, 'Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendakllah ia merubahnya" hingga akhirnya.
Dalam Hadita ini berisikan dalil bahwa tidak sorang pun yang melakukan hal itu sebelum Marwan. Jika ditanyakan, bagaiman mungkin Abu Sa'id terlambat untuk merubah kemungkaran ini sehingga orang ini mengingkarinya? Konon,ada kemungkinan bahwa Abu Sa'id tidak ada pada saat mula-mula Marwan "mensyariatkan" didahuluinya khutbah Is dan orang tersebut mengingkarinya.Kemudian Abu Sa'id masuk ketika keduanya bercakap-cakap. Bisa jadi ia hadir tetapi ia khawartir atas dirinya, jika ia merubahnya, maka bias terjadi fitnah karena sebab pengingkarannya.Bisa jadi juga bahwa Abu Sa'id ingin mengingkarinya, tetapi didahului orang tersebut dan Abu Sa'id mendukungnya.Wallahu a'lam.
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata:
Sabdanya: "Barang siapa melihat." Kata man (barang siapa) ini adalah syarthiyyah (syarat), dan ini keumuman. Sabdanya, "melihat" mengandung kemungkinan bahwa yang dimaksud ialah melihat dengan mata, atau yang dimaksud adalah melihat dengan hati, yaitu ilmu. Dan yang kedua ini lebih umum.
Sabdanya: "Fal yughayyirhu biyadihi (maka hendaklah iamerubah dengan tangannya). "Lam disini untuk perintah. Yakni, merubah kemungkaran ini dengan merubahnya kepada yang ma'ruf, dengan mencegahnya secara mutlak. Yakni, dengan merubahnya kepada sesuatu yang mubah, dengan tangannya, jika ia memiliki kemampuan untuk merubah dengan tangan.
Sabdanya: "jika tidak mampu." Yakni,merubah dengan tangannya.
" Maka dengan lisannya." Dengan mengatakan kepada pelakunya," Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah perbuatan itu" dan sejenisnya.
" JIka tidak mampu," dengan lisannya, karena khawatir terhadap dirinya atau ia bisu tidak bisa berbicara.
" Maka dengan hatinya." Yakni. Merubahnya dengan hatinya, yaitu dengan membenci perbuatan tersebut.
" Dan itulah selemah-lemahnya iman." Artinya, karena ia tidak mampu merubahnya kacuali dengan hatinya, maka itu selemah-lemahnya iman.